Menyongsong tahun 2015, peta perpolitikan Indonesia terus memanas. Ini disebabkan semakin banyak partai mengalami pengeroposan akibat suksesi internal yang bermasalah. Saat ini, setidaknya dua partai yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar sudah menjalankan Musyawarah Nasional dan menghasilkan dualisme kepemimpinan. Kondisi ini menegaskan, pasca keributan Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, peta perpolitikan nasional masih bersifat dinamis.
Konflik di partai Kabah terjadi setelah dua kubu yang terpecah dukungan politiknya saling mengklaim sebagai kepengurusan partai yang sah. Kalangan anak muda partai ini dipelopori Romahurmuzy menggalng dukungan dan menggelar Muktamar di Surabaya, 15-18 Oktober 2014. Tak mau ketinggalan, Suryadharma Ali pun menggelar suksesi serupa di Jakarta, 30 Oktober – 2 November 2014 dan menghasilkan kepemimpinan PPP versi Djan Farids. Keduanya mengklaim sebagai kepengurusan yang sah secara hukum.
Serupa, Partai Golkar juga terancam konflik internal menyusul arogansi Aburizal Bakrie untuk tetap berkuasa dengan cara yang tak demokratis. Untuk mempertahankan kekuasaannya, pemimpin Bakrie Group ini mengadakan Muktamar Nasional (Munas) di Bali ditandai dengan terpilihnya Ical secara aklamasi. Disebut tak demokratis, sebab peluang kader muda untuk memimpin partai beringin ditutup sehingga memicu mereka mengadakan agenda serupa di Jakarta dengan menghasilkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono.
Di Balik Dukungan Politik
Keributan dua partai besar itu memang tak dapat dielakkan jika melihat kondisi dukungan yang terbelah pasca Pilpres. Bagaimanapun, kalangan anak muda kedua partai yang notabene menginginkan perubahan lebih mendukung kepemimpinan Jokowi. Selain alasan “selera anak muda” keuntungan mendukung pemerintahan yang berkuasa mendorong mereka mendapatkan “keamanan” secara bisnis, keuntungan segar “dana” berpolitik dan posisi strategis. Kondisi ini tak dipungkiri membuat mereka memilih mengibarkan “bendera tandingan” dibandingkan tetap menginduk kepada rezim lama namun harus melawan penguasa.
Dalam pandangan keamanan berbisnis, sulit diingkari banyak politisi kedua partai yang memiliki bisnis sehingga diharapkan kedekatan dengan penguasa akan menjamin kelanggengan proses berbisnisnya. Tidak heran, di balik alasan dukungan politik kepada Jokowi sesungguhnya tersimpan motif ekonomi. Diharapkan dukungan kepada pemerintah membuat para politikus berwatak pebisnis ini mampu “berlindung” atas segala potensi ketat dalam mengawal bisnisnya.
Kedua, mendukung rezim Jokowi-JK berpotensi menghasilkan dana segar politik, sebab masuk dalam koalisi pemerintah bagi sebuah parpol lebih mudah mendulang dana dan akses kepada “pengurasan” anggaran negara terbuka lebar. Setidaknya itulah yang terjadi pada masa pemerintahan SBY-Boediono, sehingga para politikus muda dengan “bendera tandingan” ini secara eksplisit menyatakan lebih aman bermain sebagai mitra dibandingkan harus bermusuhan atau beroposisi dengan rezim.
Ketiga, potensi mendapatkan posisi strategis dalam pemerintahan Jokowi-JK. Meski kedua duet pemimpin bangsa 2014-2019 ini sudah menetapkan posisi menterinya, tak menutup kemungkinan terjadi pergantian akibat kinerja yang jelek, gejolak internal antar koalisi Indonesia Hebat dan penyebab lainnya. Jika itu terjadi, maka potensi PPP versi Romy dan Golkar versi Agung Laksono masuk untuk mengisi posisi kosong sangat terbuka. Jelas, kedudukan menteri menjadi incaran partai yang mencoba masuk ke KIH melalui proses muktamar dan kepemimpinan “tandingan” ini.
Terlepas dari motif kekuasan ekonomi-politik, perpecahan dalam tubuh internal partai akan berdampak buruk kepada parpol yang bersangkutan khususnya dalam potret pencitraan di mata masyarakat luas. Kepercayaan masyarakat menurun, sebab parpol hanya menghasilkan politikus pragmatistik, yang bergerak dengan tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Padahal, sejatinya parpol hadir untuk kaderisasi kepemimpinan politik, memberikan pendidikan politik dan membentuk negara yang demokratis sebagaimana cita-cita bersama seluruh bangsa Indonesia.
Sumber :
https://www.selasar.com/politik/harga-mahal-dualisme-kepemimpinan
No comments:
Post a Comment